Senin, 06 Juli 2009

sebuah pengakuan

Hari ini mungkin akan menjadi saatnya aku mengatakan semuanya. Aku tau semuanya akan terlalu dramatis. Tapi, that’s the way I’m inside, just to tell you the truth. Ada saat dimana eksistensi kita kadang kita pertanyakan, kadang tidak kita sadari, dan kadang terasa terinjak-injak. Well, semuanya menyakitkan.
Katanya, aku terlalu banyak berfikir, dan aku terlalu pintar, makanya aku selalu berakhir dengan dramatis. Mungkin dimatanya, akulah yang membuat alur cerita hidupku jadi sedramatis ini. Tapi apa aku sehebat itu? Aku tidak tau. Dan rasanya aku tidak mau tau!
………

My childhood story. Kami sering menertawakannya bersama saat kami sudah sedikit lebih dewasa. Kami, dalam hal ini aku dan teman-teman kecilku yang telah tumbuh bersamaku.
Dulu, aku selalu menjadi pusat perhatian mereka. Well, memang bukan seperti perhatian yang berlebihan. Hanya akulah yang akan mendapat giliran dicubit pertama kali oleh ketua geng kecil kami, karena aku tidak pernah mau ikut berenang di “kolam”, istilah istimewa untuk lubang air kecil di samping rumah ketua kami, dan “berenang” untuk istilah bersama-sama telanjang bulat dan menceburkan diri dalam air kotor bercampur telur nyamuk dimana-mana. Aku juga akan mendapat giliran pertama (dan bahkan satu-satunya), untuk menjadi sungai bagi “pasir terjun” mereka. “Pasir terjun”, bayangkan saja air terjun, dan obrak-abrik bayangan itu dengan air yang berubah menjadi pasir yang turun dari genggaman teman-teman terbaikmu.
Lalu boneka, mereka selalu memberiku boneka kelinci, yang mereka bilang mirip gigiku. Warnanya merah. Ukurannya pas kalo aku gendong menjadi bayiku. Saat pertama aku memperolehnya, aku merasa sangat beruntung, karena teman-temanku tidak pernah memperoleh ukuran “bayi” yang sesuai dengan ukuran gendongan mereka, karena “bayi” mereka terlalu besar. Tapi beberapa tahun setelahnya, saat “bayi” mereka tumbuh besar, dan ibuku juga berbaik hati memberikan “bayi” besar untukku, kelinci merah kecil itu masih selalu menjadi bayiku. Selalu sebesar itu dan tidak pernah menjadi besar. Aku hanya selalu dipasangkan dengan bayi kecil. Well, aku tidak terlalu senang, tapi mungkin mereka pikir aku ingin menjadi baby sitter yang akan merawat bayi mereka saat aku besar nanti. Dan aku pikir, kelak aku tidak akan mau menggendong bayi kelinci mereka lagi. Aku akan menggendong bayiku sendiri, yang akan tumbuh pada waktunya.
Sekarang, saat kami telah tumbuh jauh lebih besar, semua cerita dan cita-cita itu tinggal jadi kenangan konyol yang tidak pernah membuat kami dendam, tapi membuat kami semakin tidak terpisahkan. Kami tetap Trio ABN (ayahku yang memberi nama), tanpa seorang pun menjadi ketua geng. Dan teman-temanku selalu membuatku senang, karena mereka bilang aku pengkhianat yang beradab dan sopan. Terlalu sopan bahkan, karena aku bahkan telah memulainya sejak mereka masih telanjang bulat dan berenang di “kolam” berlumut. Dan aku percaya itu.
……………….

Aku mulai jatuh cinta. Teman-temanku bilang cinta itu buta. Tapi sepertinya aku tidak terlalu mencintai seseorang, karena aku tidak pernah sampai benar-benar buta. Aku masih merasa Awan (seseorang yang membuatku terus-menerus mengingat bau parfum yang dipakainya) terlalu tua untukku. Aku kadang berharap dia berumur 12, sama sepertiku saat itu. Aku jadi terobsesi pada awan (awan yang benar-benar awan, yang ada di langit). Aku pikir semua orang akan tau apa sebabnya. Saat kita jatuh cinta, kita mungkin akan terobsesi pada semua hal yang ada hubungannya dengan orang yang kita cintai. Kesamaan nama, aroma parfum, warna kesukaan, tempat nongkrongnya, bahkan daun yang tak sengaja diinjaknya. Terutama jika saat kita jatuh cinta itu, usia kita baru 12.
Aku sering melihat awan, saat siang sedang terik-teriknya. Mengaguminya seperti aku mengagumi Awan. Awan akan terus menari, berputar-putar seperti sirkus di langit yang luas, walaupun siang sangat panas. Dan tetap putih bersih, walaupun dia selalu melakukan sun bathing setiap hari dan sepanjang hari. Seperti Awan-ku, yang sudah 21 tahun, dan kuliah, dan putih bersih, dan sering kulihat memainkan permainan yang memang bukan sirkus, tapi sangat mirip menurutku. Awan-ku seorang pemain teater, yang pernah mendapat peran sebagai seorang salesman yang sangat bawel, padahal semua orang tau Awan-ku sangat pendiam. Saat dia berhasil memerankannya, aku langsung menyadari kesamaan sirkus dengan apa yang Awan-ku sebut sebagai teater, tokoh dalam sirkus dan teater selalu melakukan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Melakukan apa yang kadang kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi.
Lalu Awan-ku mengenalkanku pada seseorang yang dia sebut “pacarnya”. Seseorang, namanya Riska, cantik, dan yang lebih penting, berumur 21 juga, seperti Awan-ku. Saat itu aku yakin Awan-ku tidak berada di atas panggung. Awan-ku tidak sedang bermain teater meskipun aku berharap begitu.
“Dek, kenalin, ini pacar Mas Awan, namanya Mbak Riska. Cantik kan?” kata Awan-ku, sambil mengacak-acak rambutku dan tersenyum (seolah-olah semua itu menyenangkan). Saat itu kami berada di teras rumahku, yang tidak memiliki panggung apapun, tapi Awan-ku telah mengajariku bagaimana caranya bermain teater di atas panggung, karena saat itu aku menjawab, “Iya, Mas Awan pinter milih,” dan aku tersenyum.
Seperti ada rongga dalam yang berhasil memisahkan pikiran sehat dan hatiku.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saat kita mencintai seseorang, kita akan berbuat apa saja agar orang kita cintai tetap bersama kita. Tapi, ada satu titik dimana kita harus berfikir terbalik, menyadari bahwa melepaskannya akan menjadi hal yang paling bijaksana untuk membuktikan cinta kita.
…………………..

Perasaan itu mengalir seperti air, itu kata-kata dalam novel yang aku baca. Aku suka membaca dan membayangkan cerita-cerita yang mungkin bisa aku susun sendiri, seperti cerita yang disusun pengarang novel. Aku mungkin bisa menceritakan kehidupan sempurna yang dijalani orang-orang yang aku sayang. Seperti saat kakek sakit, aku akan membuat cerita lain. Aku tidak akan menjadi cucunya yang hanya bisa menungguinya dan kadang-kadang merasa marah karena bosan, atau ketiduran karena lelah, tapi aku akan menjadi seorang dokter muda yang cantik yang baru saja menemukan formula baru yang sangat ampuh membasmi kanker otak yang diderita kakek. Dan kakekku sembuh, kembali muda, dan bisa membelikanku boneka panda lagi, walaupun aku tau, saat aku menjadi dokter aku akan terlalu sibuk dan tidak akan pernah main dengan boneka panda lagi.
Saat aku sudah sedikit lebih besar, aku juga pernah menyusun cerita dimana aku sakit dan sekarat, saat aku putus dengan pacarku. Dia akan datang menjengukku, merasa sangat sedih dan kehilangan, dan berjanji akan kembali padaku asal aku bangun lagi. Lalu pacar barunya akan merasa dunia ini sama sekali tidak adil baginya. Dia akan berfikir kenapa bukan dia saja yang sakit dan sekarat, sehingga dia yang akan tetap bersama cowok itu. Dia marah, membanting pintu keras-keras saat cowok mantan pacarku itu telah menjadi pacarku lagi (karena ternyata aku selamat dari sekarat) dan memutuskannya. Pacarku itu akan merasa sangat bersalah, merasa telah menyakiti kami berdua, dan pulang dengan motornya. Mengendarainya dengan kecepatan penuh untuk mengalihkan emosinya, lalu menabrak truk pengangkut pasir di tikungan terakhir ke arah rumahnya. Dia meninggal, dan aku maupun pacar barunya yang baru saja diputuskannya tidak akan ada yang memperebutkannya lagi. Dan dia, orang yang aku sayangi itu, tidak akan menyakiti hati cewek manapun lagi.
Sesuatu lalu terjadi dalam kehidupan nyata. Dia (mantan pacarku), benar-benar mengalami kecelakaan. Hanya saja, kecelakaan itu tidak cukup parah untuk membuatnya meninggal. Dia hanya luka-luka. Luka kecil, kalo kubandingkan dengan tengkorak retak yang kubayangkan dalam cerita yang kususun, tapi aku sepertinya merasakan kekhawatiran yang sama. Persis sama seperti apa yang kubayangkan. Maka aku menemuinya, tersenyum padanya, dan memberikan hendphone-ku saat dia bilang pulsanya habis padahal dia harus membalas sms pacar barunya, mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. Dan sejak saat itu aku sadar posisiku, saat itu dan selamanya aku adalah temannya, yang akan ikut tersenyum dalam tawanya, dan menderita dalam tangisnya.
Aku pun sadar, cerita hanya cerita. Perasaan masih terus mengalir. Jauh, dan kita tak pernah tau dimana hilirnya. Aku hanya tau, pada satu titik, aku telah meninggalkan banyak hal jauh di belakangku, dan menyiapkan diri pada batu besar yang ada di depan sana, yang mungkin akan menghentikanku lagi.
…………………..

Aku senang punya banyak teman. Trio ABN-ku yang tidak lagi seperti geng, Mas Awan dan Mbak Riska, juga anak-anaknya yang memanggilku tante, mantan pacarku yang kadang masih kupikirkan sebagai kenangan yang banyak membuatku belajar hidup, mantan pacar mantanku (yang dulu adalah pacar barunya) yang sudah menikah dan sedang hamil, teman-teman sekolahku, geng saat aku SMA yang menjadikan aku adik ke-10 mereka padahal anggota kami hanya 10, teman-teman kuliahku yang kadang kompak dan kadang biasa saja, teman-teman teater-ku --karena aku akhirnya pernah memutuskan untuk menyadari bakat beracting dalam diriku, teman-temanku mengajar yang merasa cukup dewasa untuk membuat orang lain merasa muda dan kecil, dan aku masih ingin memperoleh banyak lagi. Bukan karena mereka, apa yang selama ini telah kumiliki, belum cukup untukku. Tapi karena aku mau. Dan dengan begitu aku merasa mengalir dan hidup.
Hanya merasa mengalir dan hidup. Tapi aku sendiri terlalu malas memikirkan, hidup macam apa yang sedang aku jalani dan akan aku jalani. Mencintai apa yang kumiliki dan terus mencari apa yang aku inginkan. Cukup simple, menurutku, tapi efeknya lumayan juga. Maksudku, jauh melebihi apa yang bisa aku bayangkan.
Aku ini simple dan cenderung pragmatis. Salah satu teman teaterku pernah mengatakannya. Dia tanya apa cita-citaku, dan aku jawab aku ingin menjadi ibu yang melahirkan anak, bukan karena aku tidak menginginkan hal yang lain, tapi karena aku merasa saat itu baru itulah yang bisa diharapkan dariku. Aku belum perah menjadi sangat produktif dan teratur dalam menjalankan hidupku, selain produktifitas dan keteraturan siklus menstruasiku. Jadi aku pikir, cita-cita yang paling pantas aku umumkan pada orang lain adalah menjadi ibu yang melahirkan anak. Kalau aku cukup beruntung, mungkin aku akan mati dan mendapat jaminan surga setelah itu. Itulah alasanku memilih cita-cita ini. Tapi aku tidak pernah mengatakan alasanku, karena dia terlanjur menertawakanku dan mengataiku konyol. Mungkin dia pikir aku bercanda, dan aku kasihan padanya yang tertawa sendirian, maka aku menemaninya tertawa. Menertawakan cita-citaku yang pas pada porsinya, yang aku yakin tidak akan overdosis jika akhirnya aku mencapainya.
………………………..

Banyak hal yang terjadi setelahnya dan sebelumnya. Tapi aku sama sekali tidak sadar kapan memulainya, seperti ketidaktahuan akan berakhirnya hujan. Mungkin sebenarnya ada tanda-tanda, simbolisasi Tuhan yang akan muncul sebagai firasat, atau intuisi, tapi aku tidak cukup peduli, karena aku sudah terlalu mencintai hidupku. Aku punya banyak teman, beberapa penggemar rahasia, seorang penggemar aneh, keluarga yang akhirnya berhasil kukenal, pikiran yang lebih terbuka, dan kehidupan yang kadang terasa komplit. Aku juga merasa hebat. Aku berhasil membuat ayah-ibuku menangis saat kelulusanku, karena ayah dipanggil ke panggung dan menerima piagam dan ijasah SMA-ku yang bernilai mulus, dan membuatnya menghargai pendapat dan pilihanku. Aku juga berhasil membuat mereka bertengkar karenaku (dan bukan karena ke-egoisan mereka sebagai orang dewasa lagi) saat aku tidak diterima di Universitas dambaan kami dan berakhir di Universitas pilihan ayahku. Aku juga sudah mengahancurkan hati banyak cowok, bahkan sejak aku kelas 5 SD, dan sampai sekarang, saat aku berusia 21. Aku sudah sangat berpengalaman dalam hal itu. Tapi tidak ada apapun yang kurasa telah kupelajari dari itu. Dulu saat aku masih begitu polos, aku pikir orang dewasa, terutama yang berusia 21, suka menghancurkankan hati orang lain. Tapi yang aku tahu, sampai aku berusia 21, menghancurkan hati cowok tidaklah cukup menyenangkan. Dan aku terus bertanya-tanya, kenapa dulu Awan-ku melakukannya?
…………………….

Aku pernah merasa jatuh cinta (lagi). Aku anggap ini karena perasaan itu mengalir, bukan karena aku pecinta ulung. Dan aku rasa aku tetap jatuh cinta tanpa menjadi buta, dia tetap saja seperti biasanya, menjadi misteri. Aku tidak pernah tau arah pikirannya, apa yang diinginkannya, dan yang paling penting, aku tidak pernah tau bagaimana perasaannya padaku. Aku juga belum mau mencari tau, karena aku mencintai apa yang ada dihadapanku, mencintai apa yang sudah kami miliki selama ini. Aku sahabatnya (aku yang mengklaimkan diri) dan dia sahabatku (aku juga yang mengklaimnya). Aku memang selalu egois. Aku sempat merasa kami seperti kembar identik, karena bagiku dia sama liciknya sepertiku. Dia licik, dan aku tengil. Dia selalu bisa memutarbalikkan dunia ini menjadi sesuatu yang kadang bersahabat dan kadang buas. Bersahabat, saat dia mau membagi kesedihan dan patah hatinya. Buas, saat dia mau membagi kebahagiaannya mendekati seorang cewek, dan cewek itu bukan aku.
Dia bilang dia selalu merasa sendiri, padahal aku akan selalu dengan senang hati menemaninya jika dia mau. Jika dia memintanya padaku, walaupun aku tidak pernah tau apa yang bisa membuatnya merasa tertemani. Aku selalu mencari tau, apa yang sebenarnya diinginkannya. Apa yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tapi aku tidak pernah menanyakan langsung padanya. Aku memperhatikannya. Melihatnya dalam dunianya yang kadang terasa asing, melayang-layang memenuhi udara, terhirup bersama nafas, dan menyusup jauh dalam diriku. Dia membuatku terlalu berkonsentrasi padanya, sampai aku lupa akan banyak hal. Dan aku terus merasa jatuh cinta padanya, tanpa bisa kucegah.
Dia berhasil membuatku bermimpi memiliki sesuatu dengannya, tanpa pernah menerangkannya secara gamblang bagiku. Dia memberikan kesempatan, dan membiarkanku berspekulasi sendiri dengan kemungkinan, hasil dan resikonya. Dia seperti puzzle (yang dibuat khusus untukku) yang membuatku selalu ingin mengutak-atiknya (dan tidak pernah berhasil kupecahkan). Padahal aku tidak pernah mahir melakukannya. Saat aku kecil, aku hanya terbiasa dengan pasir terjun, cubitan, dan boneka kelinci merah. Maka dia benar-benar berhasil menjadi puzzle specialku yang tak pernah terpecahkan.
Aku tidak tau ini jahat tidak, tapi dia seperti permainan baru. Seperti hal baru yang mendekat seperti pengait pada tutup pulpen. Sepertinya satu kesatuan, tapi sebenarnya tidak pernah benar-benar menempel dan menyatu. Aku sempat ingin menyatakan keberatanku padanya (tentang hubungan gila ini), tapi aku takut kehilangan. Dan rasanya, menjadi sahabatnya adalah porsi yang tepat. Aku mungkin akan overdosis jika aku memberitahunya.
……………………………

Tuhan punya banyak cara untuk memberi tahumu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kadang secara implicit, seperti saat Tuhan ingin memberitahumu bahwa kau tidak cukup pintar untuk mempelajari masalah kedokteran, maka Tuhan membuatmu sakit menjelang ujian masuk. Mungkin kau akan bilang Tuhan tidak adil. Seperti juga saat Tuhan ingin kau melihat seseorang yang kau cintai, dengan menghalangi dosenmu keluar kelas, padahal waktu kuliah sudah habis. Kau akan menggerutu karena membuatmu 10 menit terlambat makan siang, tapi langsung melupakan semuanya saat melihat orang yang kau cintai menuju kantin yang sama, di waktu yang sama, dimana tidak ada tempat lain bagi kalian selain untuk duduk di satu meja. Dan kau mungkin akan bilang Tuhan sangat adil.
Hukum keseimbangan berlaku secara global. Dan itu juga yang terjadi padaku, kalau aku telah pernah merasa hebat dan mencintai kehidupanku, mungkin ada waktu pembalasannya, waktu disaat aku tersungkur dan tiba-tiba muak pada kehidupanku.
Aku merasa terlalu banyak berteman, sampai aku tidak memeperhatikan satu pun dari mereka. dan sebagai realisasi dari hukum sebab-akibatnya, tidak ada juga satupun yang memperhatikanku. Atau lebih tepatnya, aku merasa seperti itu. Tanpa aku pernah tau, aku telah melewatkan banyak hal. Dan teman-temanku membiarkanku melewatkan semuanya, sendiri. Aku berusaha memberitahu mereka dengan caraku, bahwa aku tidak nyaman dengan ini semua. Tapi tak ada seorang pun yang mendengar. Dan aku kembali pada puzzle-ku. Berusaha memberitahunya bahwa Tuhan telah menunjukkan bahwa aku memuakkan dengan membuat teman-temanku tidak merasa kehilangan aku.
Membiarkannya bingung kali ini, karena bagaimanapun dia lebih sering membuatku bingung.
Tapi, kadang Tuhan juga memberitahukan sesuatu secara eksplisit. Mungkin Tuhan sedang tidak ingin bermain-main. Tidak ingin memberimu teka-teki lagi. Bukan karena Tuhan tidak mau bermain-main, tapi karena Tuhan bosan memberikan tanda-tanda yang tidak pernah berhasil kubaca. Aku memang buruk dalam hal teka-teki dan puzzle. Tuhan mengataiku bodoh karena melakukan sesuatu yang kadaluwarsa. Aku sudah sering menangis dan sakit hati saat teman-teman kecilku memuntahkan pasir terjun dari tangan mungil mereka. Tapi kali itu, saat teman-temanku meninggalkanku, aku masih menangis dan terluka. Aku masih juga menyalahkan mereka. Menganggap diriku sendiri sebagai korban, yang bagaimanapun lebih lemah dan terbebas dari dakwaan.Tuhan menghukumku dengan menunjukkan padaku seperti apa rasanya sendiri. Menyingkirkan teman-teman yang terlalu sering kudakwa atas tangisan-tangisanku yang mungkin sebenarnya bukan karena mereka, taip karena kecengenganku sendiri.
Mungkin seperti inilah yang dirasakan puzzle-ku selama ini. Sendiri, meskipun aku berdiri tegak disampingnya. Apa itu karena dia juga selalu mendakwaku atas kesendirian yang dipilihnya? Entahlah, aku hanya ingat untuk mengingatnya untuk kali ini, seperti kali-kali sebelumnya. Selalu.
………………………..

Aku masih suka membaca, tapi dalam bentuk lain. Aku suka membaca simbolisasi, karena aku tidak pernah berhasil membaca semuanya. Selalu ada bagian yang tidak terbaca dan tetap menjadi misteri. Dan aku tak akan pernah bosan berusaha memecahkannya sampai berhasil.
Simbolisasi itu semakin sering terbaca olehku. Aku membacanya dengan sangat tidak lancar, tapi aku harap itu benar. Dan simbolisasi itu ada pada puzzle-ku. Puzzle-ku yang tidak terpecahkan dan penuh misteri. Rasanya sangat lengkap, selamanya aku tidak akan pernah bosan hidup bersamanya.
Aku yakin telah jatuh cinta. Lelaki yang menjadi puzzle misteriku. Saat aku merasa sendiri, dan menyadarkanku bahwa aku masih bisa berusaha memilikinya. Hanya dengan satu pesan singkat, bahwa aku boleh mengganggunya. Boleh mengutak-atiknya seperti biasanya. Berusaha mengorek apa yang aku mau tau, meskipun jarang berhasil. Dan aku melakukannya. Bukan karena aku ingin mencari pengalihan dari kesendirianku, tapi karena aku tau saat ini dia datang pada waktu yang tepat. Dan dia selalu datang di waktu yang tepat bagiku. Aku menceritakan apa yang aku bisa. Membiarkan beberapa hal tetap terselubung, dengan harapan dia akan menganggapnya misteri dan berusaha mencari tau apa artinya dariku. Aku sudah sangat berharap dia pun akan menganggap aku puzzle khusus baginya, sampai aku sadar bahkan dia tak pernah menyadari misteri yang kusembunyikan darinya. Dan aku tau, tidak perlu banyak berpikir, dan tidak perlu menjadi pintar kalau hanya untuk merasa sakit hati. Semua terasa alami.
Ada kehampaan yang tidak terbaca. Jauh lebih tidak terbaca dari pada dia. Mungkin seperti inilah sendiri. Sama sekali tidak terbaca, karena bahkan kita tidak terlalu menyadarinya. Seperti laut dan pantai yang terlihat saling memperindah. Aku adalah pantai. Sendiri adalah laut. Kami terlihat saling memperindah. Tapi laut selalu berombak, dan diam-diam membawa pasir yang menjadi wujud eksistensiku. Dan mungkin tidak akan berhenti, sampai aku hilang dan membiarkannya menemukan pantai yang lain untuk ditelannya.
…………………………

Sebuah pesan singkat lagi. “Feel better?” tanyanya. “Worse,” jawabku. Lalu aku menangis. Ada dua aliran hangat dari mataku. Hangat, seperti pertanyaannya. Hangat, sebagai persahabatan yang baru benar-benar kuakui. Aku baru benar-benar menangis, saat menyadari porsi yang tidak akan membuatku overdosis. Aku adalah sahabatnya. Dan itulah jawaban yang benar, koreksi atas simbol yang telah salah kubaca selama ini.
Dia selalu datang pada waktu yang tepat. Aku masih mempercayainya. Dan mungkin, saat ini juga waktu yang tepat untuk menanyakan semua hal padanya, selama aku masih menjadi sahabatnya. Dan dia tidak akan menjadi misteri lagi. Dan perasaanku akan mengalir lagi. Dan akan terhenti lagi. Dan aku akan membayar apa yang telah kusesali dengan membiarkan semuanya terbaca begitu saja. Dan suatu saat nanti, aku mungkin akan sudah merasa terlalu dewasa untuk memecahkan misteri puzzle.
Satu hal yang membuatku bersyukur, aku akan selalu menjadi sahabat semua orang, meskipun mungkin tidak untuk mereka, dan meskipun persahabatan tidak selamanya indah (tidak seperti buku yang kubaca).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar