Minggu, 30 Agustus 2009

hanya ada satu janji

hanya ada satu janji yang bisa aku janjikan padamu
akan kujaga rahasia kecil ini
semoga tak akan ada yang tahu
bahwa kita pernah memiliki satu dunia tak terlihat yang merajakan kita
rasanya tak perlu kita keluar dan berlari lagi
karena kita berdua tak akan menang melawan seluruh dunia

Kamis, 23 Juli 2009

setelah semuanya menjadi terlalu jelas

semuanya menjadi terlalu jelas. aku belum siap, dan mungkin tidak akan pernah siap untuk kenyataan ini. beruntung kita telah memiliki satu kenangan yang telah orang lain ketahui. setidaknya aku tidak terlalu sendiri. atau mungkin memang seperti itulah alur yang kamuinginkan??
terlalu banyak asumsi dalam pikiranku, karena aku tidak bisa tidk berfikir tentangmu setelah rasa sakit ini. sebagian hatiku mengatakan, kamu pun terluka seperti aku,,tapi terlalu pengecut untuk menyelesaikan semuanya. satu bagian yang lain mnegatakan, mungkin kamu sama sekali tidak merasa aku terluka, kerana memang seperti inilah cerita yang kita sepakati..hanya alurnya terlalu cepat. satu bagian yang lain lagi mengatakan, kamu memang tidak peduli apapun yang terjadi, akerna toh selama ini aku yang menginginkan hubungan kita, bukan kamu.

tapi jauh melebihi itu semua, aku merasa telah berbagi bersamamu. kita telah sepakat akan sesuatu. kita memiliki tempat kita sendiri, kalender kita sendiri, lagu kita sendiri, dunia kita sendiri. tapi saat kamu tahu aku terluka dan sendiri di sana, kamu dimana? membiarkanku sendiri, sibuk dengan ribuan kemungkinan yang berhasil memenuhi pikiranku.

dimana kamu saat ini? apakah hanya aku yang harus mengkhawatirkan semuanya? apakah hanya aku yang benar-benar merasa kehilangan?

Senin, 06 Juli 2009

sebuah pengakuan

Hari ini mungkin akan menjadi saatnya aku mengatakan semuanya. Aku tau semuanya akan terlalu dramatis. Tapi, that’s the way I’m inside, just to tell you the truth. Ada saat dimana eksistensi kita kadang kita pertanyakan, kadang tidak kita sadari, dan kadang terasa terinjak-injak. Well, semuanya menyakitkan.
Katanya, aku terlalu banyak berfikir, dan aku terlalu pintar, makanya aku selalu berakhir dengan dramatis. Mungkin dimatanya, akulah yang membuat alur cerita hidupku jadi sedramatis ini. Tapi apa aku sehebat itu? Aku tidak tau. Dan rasanya aku tidak mau tau!
………

My childhood story. Kami sering menertawakannya bersama saat kami sudah sedikit lebih dewasa. Kami, dalam hal ini aku dan teman-teman kecilku yang telah tumbuh bersamaku.
Dulu, aku selalu menjadi pusat perhatian mereka. Well, memang bukan seperti perhatian yang berlebihan. Hanya akulah yang akan mendapat giliran dicubit pertama kali oleh ketua geng kecil kami, karena aku tidak pernah mau ikut berenang di “kolam”, istilah istimewa untuk lubang air kecil di samping rumah ketua kami, dan “berenang” untuk istilah bersama-sama telanjang bulat dan menceburkan diri dalam air kotor bercampur telur nyamuk dimana-mana. Aku juga akan mendapat giliran pertama (dan bahkan satu-satunya), untuk menjadi sungai bagi “pasir terjun” mereka. “Pasir terjun”, bayangkan saja air terjun, dan obrak-abrik bayangan itu dengan air yang berubah menjadi pasir yang turun dari genggaman teman-teman terbaikmu.
Lalu boneka, mereka selalu memberiku boneka kelinci, yang mereka bilang mirip gigiku. Warnanya merah. Ukurannya pas kalo aku gendong menjadi bayiku. Saat pertama aku memperolehnya, aku merasa sangat beruntung, karena teman-temanku tidak pernah memperoleh ukuran “bayi” yang sesuai dengan ukuran gendongan mereka, karena “bayi” mereka terlalu besar. Tapi beberapa tahun setelahnya, saat “bayi” mereka tumbuh besar, dan ibuku juga berbaik hati memberikan “bayi” besar untukku, kelinci merah kecil itu masih selalu menjadi bayiku. Selalu sebesar itu dan tidak pernah menjadi besar. Aku hanya selalu dipasangkan dengan bayi kecil. Well, aku tidak terlalu senang, tapi mungkin mereka pikir aku ingin menjadi baby sitter yang akan merawat bayi mereka saat aku besar nanti. Dan aku pikir, kelak aku tidak akan mau menggendong bayi kelinci mereka lagi. Aku akan menggendong bayiku sendiri, yang akan tumbuh pada waktunya.
Sekarang, saat kami telah tumbuh jauh lebih besar, semua cerita dan cita-cita itu tinggal jadi kenangan konyol yang tidak pernah membuat kami dendam, tapi membuat kami semakin tidak terpisahkan. Kami tetap Trio ABN (ayahku yang memberi nama), tanpa seorang pun menjadi ketua geng. Dan teman-temanku selalu membuatku senang, karena mereka bilang aku pengkhianat yang beradab dan sopan. Terlalu sopan bahkan, karena aku bahkan telah memulainya sejak mereka masih telanjang bulat dan berenang di “kolam” berlumut. Dan aku percaya itu.
……………….

Aku mulai jatuh cinta. Teman-temanku bilang cinta itu buta. Tapi sepertinya aku tidak terlalu mencintai seseorang, karena aku tidak pernah sampai benar-benar buta. Aku masih merasa Awan (seseorang yang membuatku terus-menerus mengingat bau parfum yang dipakainya) terlalu tua untukku. Aku kadang berharap dia berumur 12, sama sepertiku saat itu. Aku jadi terobsesi pada awan (awan yang benar-benar awan, yang ada di langit). Aku pikir semua orang akan tau apa sebabnya. Saat kita jatuh cinta, kita mungkin akan terobsesi pada semua hal yang ada hubungannya dengan orang yang kita cintai. Kesamaan nama, aroma parfum, warna kesukaan, tempat nongkrongnya, bahkan daun yang tak sengaja diinjaknya. Terutama jika saat kita jatuh cinta itu, usia kita baru 12.
Aku sering melihat awan, saat siang sedang terik-teriknya. Mengaguminya seperti aku mengagumi Awan. Awan akan terus menari, berputar-putar seperti sirkus di langit yang luas, walaupun siang sangat panas. Dan tetap putih bersih, walaupun dia selalu melakukan sun bathing setiap hari dan sepanjang hari. Seperti Awan-ku, yang sudah 21 tahun, dan kuliah, dan putih bersih, dan sering kulihat memainkan permainan yang memang bukan sirkus, tapi sangat mirip menurutku. Awan-ku seorang pemain teater, yang pernah mendapat peran sebagai seorang salesman yang sangat bawel, padahal semua orang tau Awan-ku sangat pendiam. Saat dia berhasil memerankannya, aku langsung menyadari kesamaan sirkus dengan apa yang Awan-ku sebut sebagai teater, tokoh dalam sirkus dan teater selalu melakukan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Melakukan apa yang kadang kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi.
Lalu Awan-ku mengenalkanku pada seseorang yang dia sebut “pacarnya”. Seseorang, namanya Riska, cantik, dan yang lebih penting, berumur 21 juga, seperti Awan-ku. Saat itu aku yakin Awan-ku tidak berada di atas panggung. Awan-ku tidak sedang bermain teater meskipun aku berharap begitu.
“Dek, kenalin, ini pacar Mas Awan, namanya Mbak Riska. Cantik kan?” kata Awan-ku, sambil mengacak-acak rambutku dan tersenyum (seolah-olah semua itu menyenangkan). Saat itu kami berada di teras rumahku, yang tidak memiliki panggung apapun, tapi Awan-ku telah mengajariku bagaimana caranya bermain teater di atas panggung, karena saat itu aku menjawab, “Iya, Mas Awan pinter milih,” dan aku tersenyum.
Seperti ada rongga dalam yang berhasil memisahkan pikiran sehat dan hatiku.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saat kita mencintai seseorang, kita akan berbuat apa saja agar orang kita cintai tetap bersama kita. Tapi, ada satu titik dimana kita harus berfikir terbalik, menyadari bahwa melepaskannya akan menjadi hal yang paling bijaksana untuk membuktikan cinta kita.
…………………..

Perasaan itu mengalir seperti air, itu kata-kata dalam novel yang aku baca. Aku suka membaca dan membayangkan cerita-cerita yang mungkin bisa aku susun sendiri, seperti cerita yang disusun pengarang novel. Aku mungkin bisa menceritakan kehidupan sempurna yang dijalani orang-orang yang aku sayang. Seperti saat kakek sakit, aku akan membuat cerita lain. Aku tidak akan menjadi cucunya yang hanya bisa menungguinya dan kadang-kadang merasa marah karena bosan, atau ketiduran karena lelah, tapi aku akan menjadi seorang dokter muda yang cantik yang baru saja menemukan formula baru yang sangat ampuh membasmi kanker otak yang diderita kakek. Dan kakekku sembuh, kembali muda, dan bisa membelikanku boneka panda lagi, walaupun aku tau, saat aku menjadi dokter aku akan terlalu sibuk dan tidak akan pernah main dengan boneka panda lagi.
Saat aku sudah sedikit lebih besar, aku juga pernah menyusun cerita dimana aku sakit dan sekarat, saat aku putus dengan pacarku. Dia akan datang menjengukku, merasa sangat sedih dan kehilangan, dan berjanji akan kembali padaku asal aku bangun lagi. Lalu pacar barunya akan merasa dunia ini sama sekali tidak adil baginya. Dia akan berfikir kenapa bukan dia saja yang sakit dan sekarat, sehingga dia yang akan tetap bersama cowok itu. Dia marah, membanting pintu keras-keras saat cowok mantan pacarku itu telah menjadi pacarku lagi (karena ternyata aku selamat dari sekarat) dan memutuskannya. Pacarku itu akan merasa sangat bersalah, merasa telah menyakiti kami berdua, dan pulang dengan motornya. Mengendarainya dengan kecepatan penuh untuk mengalihkan emosinya, lalu menabrak truk pengangkut pasir di tikungan terakhir ke arah rumahnya. Dia meninggal, dan aku maupun pacar barunya yang baru saja diputuskannya tidak akan ada yang memperebutkannya lagi. Dan dia, orang yang aku sayangi itu, tidak akan menyakiti hati cewek manapun lagi.
Sesuatu lalu terjadi dalam kehidupan nyata. Dia (mantan pacarku), benar-benar mengalami kecelakaan. Hanya saja, kecelakaan itu tidak cukup parah untuk membuatnya meninggal. Dia hanya luka-luka. Luka kecil, kalo kubandingkan dengan tengkorak retak yang kubayangkan dalam cerita yang kususun, tapi aku sepertinya merasakan kekhawatiran yang sama. Persis sama seperti apa yang kubayangkan. Maka aku menemuinya, tersenyum padanya, dan memberikan hendphone-ku saat dia bilang pulsanya habis padahal dia harus membalas sms pacar barunya, mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. Dan sejak saat itu aku sadar posisiku, saat itu dan selamanya aku adalah temannya, yang akan ikut tersenyum dalam tawanya, dan menderita dalam tangisnya.
Aku pun sadar, cerita hanya cerita. Perasaan masih terus mengalir. Jauh, dan kita tak pernah tau dimana hilirnya. Aku hanya tau, pada satu titik, aku telah meninggalkan banyak hal jauh di belakangku, dan menyiapkan diri pada batu besar yang ada di depan sana, yang mungkin akan menghentikanku lagi.
…………………..

Aku senang punya banyak teman. Trio ABN-ku yang tidak lagi seperti geng, Mas Awan dan Mbak Riska, juga anak-anaknya yang memanggilku tante, mantan pacarku yang kadang masih kupikirkan sebagai kenangan yang banyak membuatku belajar hidup, mantan pacar mantanku (yang dulu adalah pacar barunya) yang sudah menikah dan sedang hamil, teman-teman sekolahku, geng saat aku SMA yang menjadikan aku adik ke-10 mereka padahal anggota kami hanya 10, teman-teman kuliahku yang kadang kompak dan kadang biasa saja, teman-teman teater-ku --karena aku akhirnya pernah memutuskan untuk menyadari bakat beracting dalam diriku, teman-temanku mengajar yang merasa cukup dewasa untuk membuat orang lain merasa muda dan kecil, dan aku masih ingin memperoleh banyak lagi. Bukan karena mereka, apa yang selama ini telah kumiliki, belum cukup untukku. Tapi karena aku mau. Dan dengan begitu aku merasa mengalir dan hidup.
Hanya merasa mengalir dan hidup. Tapi aku sendiri terlalu malas memikirkan, hidup macam apa yang sedang aku jalani dan akan aku jalani. Mencintai apa yang kumiliki dan terus mencari apa yang aku inginkan. Cukup simple, menurutku, tapi efeknya lumayan juga. Maksudku, jauh melebihi apa yang bisa aku bayangkan.
Aku ini simple dan cenderung pragmatis. Salah satu teman teaterku pernah mengatakannya. Dia tanya apa cita-citaku, dan aku jawab aku ingin menjadi ibu yang melahirkan anak, bukan karena aku tidak menginginkan hal yang lain, tapi karena aku merasa saat itu baru itulah yang bisa diharapkan dariku. Aku belum perah menjadi sangat produktif dan teratur dalam menjalankan hidupku, selain produktifitas dan keteraturan siklus menstruasiku. Jadi aku pikir, cita-cita yang paling pantas aku umumkan pada orang lain adalah menjadi ibu yang melahirkan anak. Kalau aku cukup beruntung, mungkin aku akan mati dan mendapat jaminan surga setelah itu. Itulah alasanku memilih cita-cita ini. Tapi aku tidak pernah mengatakan alasanku, karena dia terlanjur menertawakanku dan mengataiku konyol. Mungkin dia pikir aku bercanda, dan aku kasihan padanya yang tertawa sendirian, maka aku menemaninya tertawa. Menertawakan cita-citaku yang pas pada porsinya, yang aku yakin tidak akan overdosis jika akhirnya aku mencapainya.
………………………..

Banyak hal yang terjadi setelahnya dan sebelumnya. Tapi aku sama sekali tidak sadar kapan memulainya, seperti ketidaktahuan akan berakhirnya hujan. Mungkin sebenarnya ada tanda-tanda, simbolisasi Tuhan yang akan muncul sebagai firasat, atau intuisi, tapi aku tidak cukup peduli, karena aku sudah terlalu mencintai hidupku. Aku punya banyak teman, beberapa penggemar rahasia, seorang penggemar aneh, keluarga yang akhirnya berhasil kukenal, pikiran yang lebih terbuka, dan kehidupan yang kadang terasa komplit. Aku juga merasa hebat. Aku berhasil membuat ayah-ibuku menangis saat kelulusanku, karena ayah dipanggil ke panggung dan menerima piagam dan ijasah SMA-ku yang bernilai mulus, dan membuatnya menghargai pendapat dan pilihanku. Aku juga berhasil membuat mereka bertengkar karenaku (dan bukan karena ke-egoisan mereka sebagai orang dewasa lagi) saat aku tidak diterima di Universitas dambaan kami dan berakhir di Universitas pilihan ayahku. Aku juga sudah mengahancurkan hati banyak cowok, bahkan sejak aku kelas 5 SD, dan sampai sekarang, saat aku berusia 21. Aku sudah sangat berpengalaman dalam hal itu. Tapi tidak ada apapun yang kurasa telah kupelajari dari itu. Dulu saat aku masih begitu polos, aku pikir orang dewasa, terutama yang berusia 21, suka menghancurkankan hati orang lain. Tapi yang aku tahu, sampai aku berusia 21, menghancurkan hati cowok tidaklah cukup menyenangkan. Dan aku terus bertanya-tanya, kenapa dulu Awan-ku melakukannya?
…………………….

Aku pernah merasa jatuh cinta (lagi). Aku anggap ini karena perasaan itu mengalir, bukan karena aku pecinta ulung. Dan aku rasa aku tetap jatuh cinta tanpa menjadi buta, dia tetap saja seperti biasanya, menjadi misteri. Aku tidak pernah tau arah pikirannya, apa yang diinginkannya, dan yang paling penting, aku tidak pernah tau bagaimana perasaannya padaku. Aku juga belum mau mencari tau, karena aku mencintai apa yang ada dihadapanku, mencintai apa yang sudah kami miliki selama ini. Aku sahabatnya (aku yang mengklaimkan diri) dan dia sahabatku (aku juga yang mengklaimnya). Aku memang selalu egois. Aku sempat merasa kami seperti kembar identik, karena bagiku dia sama liciknya sepertiku. Dia licik, dan aku tengil. Dia selalu bisa memutarbalikkan dunia ini menjadi sesuatu yang kadang bersahabat dan kadang buas. Bersahabat, saat dia mau membagi kesedihan dan patah hatinya. Buas, saat dia mau membagi kebahagiaannya mendekati seorang cewek, dan cewek itu bukan aku.
Dia bilang dia selalu merasa sendiri, padahal aku akan selalu dengan senang hati menemaninya jika dia mau. Jika dia memintanya padaku, walaupun aku tidak pernah tau apa yang bisa membuatnya merasa tertemani. Aku selalu mencari tau, apa yang sebenarnya diinginkannya. Apa yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tapi aku tidak pernah menanyakan langsung padanya. Aku memperhatikannya. Melihatnya dalam dunianya yang kadang terasa asing, melayang-layang memenuhi udara, terhirup bersama nafas, dan menyusup jauh dalam diriku. Dia membuatku terlalu berkonsentrasi padanya, sampai aku lupa akan banyak hal. Dan aku terus merasa jatuh cinta padanya, tanpa bisa kucegah.
Dia berhasil membuatku bermimpi memiliki sesuatu dengannya, tanpa pernah menerangkannya secara gamblang bagiku. Dia memberikan kesempatan, dan membiarkanku berspekulasi sendiri dengan kemungkinan, hasil dan resikonya. Dia seperti puzzle (yang dibuat khusus untukku) yang membuatku selalu ingin mengutak-atiknya (dan tidak pernah berhasil kupecahkan). Padahal aku tidak pernah mahir melakukannya. Saat aku kecil, aku hanya terbiasa dengan pasir terjun, cubitan, dan boneka kelinci merah. Maka dia benar-benar berhasil menjadi puzzle specialku yang tak pernah terpecahkan.
Aku tidak tau ini jahat tidak, tapi dia seperti permainan baru. Seperti hal baru yang mendekat seperti pengait pada tutup pulpen. Sepertinya satu kesatuan, tapi sebenarnya tidak pernah benar-benar menempel dan menyatu. Aku sempat ingin menyatakan keberatanku padanya (tentang hubungan gila ini), tapi aku takut kehilangan. Dan rasanya, menjadi sahabatnya adalah porsi yang tepat. Aku mungkin akan overdosis jika aku memberitahunya.
……………………………

Tuhan punya banyak cara untuk memberi tahumu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kadang secara implicit, seperti saat Tuhan ingin memberitahumu bahwa kau tidak cukup pintar untuk mempelajari masalah kedokteran, maka Tuhan membuatmu sakit menjelang ujian masuk. Mungkin kau akan bilang Tuhan tidak adil. Seperti juga saat Tuhan ingin kau melihat seseorang yang kau cintai, dengan menghalangi dosenmu keluar kelas, padahal waktu kuliah sudah habis. Kau akan menggerutu karena membuatmu 10 menit terlambat makan siang, tapi langsung melupakan semuanya saat melihat orang yang kau cintai menuju kantin yang sama, di waktu yang sama, dimana tidak ada tempat lain bagi kalian selain untuk duduk di satu meja. Dan kau mungkin akan bilang Tuhan sangat adil.
Hukum keseimbangan berlaku secara global. Dan itu juga yang terjadi padaku, kalau aku telah pernah merasa hebat dan mencintai kehidupanku, mungkin ada waktu pembalasannya, waktu disaat aku tersungkur dan tiba-tiba muak pada kehidupanku.
Aku merasa terlalu banyak berteman, sampai aku tidak memeperhatikan satu pun dari mereka. dan sebagai realisasi dari hukum sebab-akibatnya, tidak ada juga satupun yang memperhatikanku. Atau lebih tepatnya, aku merasa seperti itu. Tanpa aku pernah tau, aku telah melewatkan banyak hal. Dan teman-temanku membiarkanku melewatkan semuanya, sendiri. Aku berusaha memberitahu mereka dengan caraku, bahwa aku tidak nyaman dengan ini semua. Tapi tak ada seorang pun yang mendengar. Dan aku kembali pada puzzle-ku. Berusaha memberitahunya bahwa Tuhan telah menunjukkan bahwa aku memuakkan dengan membuat teman-temanku tidak merasa kehilangan aku.
Membiarkannya bingung kali ini, karena bagaimanapun dia lebih sering membuatku bingung.
Tapi, kadang Tuhan juga memberitahukan sesuatu secara eksplisit. Mungkin Tuhan sedang tidak ingin bermain-main. Tidak ingin memberimu teka-teki lagi. Bukan karena Tuhan tidak mau bermain-main, tapi karena Tuhan bosan memberikan tanda-tanda yang tidak pernah berhasil kubaca. Aku memang buruk dalam hal teka-teki dan puzzle. Tuhan mengataiku bodoh karena melakukan sesuatu yang kadaluwarsa. Aku sudah sering menangis dan sakit hati saat teman-teman kecilku memuntahkan pasir terjun dari tangan mungil mereka. Tapi kali itu, saat teman-temanku meninggalkanku, aku masih menangis dan terluka. Aku masih juga menyalahkan mereka. Menganggap diriku sendiri sebagai korban, yang bagaimanapun lebih lemah dan terbebas dari dakwaan.Tuhan menghukumku dengan menunjukkan padaku seperti apa rasanya sendiri. Menyingkirkan teman-teman yang terlalu sering kudakwa atas tangisan-tangisanku yang mungkin sebenarnya bukan karena mereka, taip karena kecengenganku sendiri.
Mungkin seperti inilah yang dirasakan puzzle-ku selama ini. Sendiri, meskipun aku berdiri tegak disampingnya. Apa itu karena dia juga selalu mendakwaku atas kesendirian yang dipilihnya? Entahlah, aku hanya ingat untuk mengingatnya untuk kali ini, seperti kali-kali sebelumnya. Selalu.
………………………..

Aku masih suka membaca, tapi dalam bentuk lain. Aku suka membaca simbolisasi, karena aku tidak pernah berhasil membaca semuanya. Selalu ada bagian yang tidak terbaca dan tetap menjadi misteri. Dan aku tak akan pernah bosan berusaha memecahkannya sampai berhasil.
Simbolisasi itu semakin sering terbaca olehku. Aku membacanya dengan sangat tidak lancar, tapi aku harap itu benar. Dan simbolisasi itu ada pada puzzle-ku. Puzzle-ku yang tidak terpecahkan dan penuh misteri. Rasanya sangat lengkap, selamanya aku tidak akan pernah bosan hidup bersamanya.
Aku yakin telah jatuh cinta. Lelaki yang menjadi puzzle misteriku. Saat aku merasa sendiri, dan menyadarkanku bahwa aku masih bisa berusaha memilikinya. Hanya dengan satu pesan singkat, bahwa aku boleh mengganggunya. Boleh mengutak-atiknya seperti biasanya. Berusaha mengorek apa yang aku mau tau, meskipun jarang berhasil. Dan aku melakukannya. Bukan karena aku ingin mencari pengalihan dari kesendirianku, tapi karena aku tau saat ini dia datang pada waktu yang tepat. Dan dia selalu datang di waktu yang tepat bagiku. Aku menceritakan apa yang aku bisa. Membiarkan beberapa hal tetap terselubung, dengan harapan dia akan menganggapnya misteri dan berusaha mencari tau apa artinya dariku. Aku sudah sangat berharap dia pun akan menganggap aku puzzle khusus baginya, sampai aku sadar bahkan dia tak pernah menyadari misteri yang kusembunyikan darinya. Dan aku tau, tidak perlu banyak berpikir, dan tidak perlu menjadi pintar kalau hanya untuk merasa sakit hati. Semua terasa alami.
Ada kehampaan yang tidak terbaca. Jauh lebih tidak terbaca dari pada dia. Mungkin seperti inilah sendiri. Sama sekali tidak terbaca, karena bahkan kita tidak terlalu menyadarinya. Seperti laut dan pantai yang terlihat saling memperindah. Aku adalah pantai. Sendiri adalah laut. Kami terlihat saling memperindah. Tapi laut selalu berombak, dan diam-diam membawa pasir yang menjadi wujud eksistensiku. Dan mungkin tidak akan berhenti, sampai aku hilang dan membiarkannya menemukan pantai yang lain untuk ditelannya.
…………………………

Sebuah pesan singkat lagi. “Feel better?” tanyanya. “Worse,” jawabku. Lalu aku menangis. Ada dua aliran hangat dari mataku. Hangat, seperti pertanyaannya. Hangat, sebagai persahabatan yang baru benar-benar kuakui. Aku baru benar-benar menangis, saat menyadari porsi yang tidak akan membuatku overdosis. Aku adalah sahabatnya. Dan itulah jawaban yang benar, koreksi atas simbol yang telah salah kubaca selama ini.
Dia selalu datang pada waktu yang tepat. Aku masih mempercayainya. Dan mungkin, saat ini juga waktu yang tepat untuk menanyakan semua hal padanya, selama aku masih menjadi sahabatnya. Dan dia tidak akan menjadi misteri lagi. Dan perasaanku akan mengalir lagi. Dan akan terhenti lagi. Dan aku akan membayar apa yang telah kusesali dengan membiarkan semuanya terbaca begitu saja. Dan suatu saat nanti, aku mungkin akan sudah merasa terlalu dewasa untuk memecahkan misteri puzzle.
Satu hal yang membuatku bersyukur, aku akan selalu menjadi sahabat semua orang, meskipun mungkin tidak untuk mereka, dan meskipun persahabatan tidak selamanya indah (tidak seperti buku yang kubaca).

biru

Hanya ada biru dalam duniaku. Seperti langit dan laut. Dan aku bukan dua-duanya. Kau mengenalnya sebagai warna, dan aku memahaminya sebagai sebuah perjalanan. Birumu adalah aku yang berhasil kau paraphrase, dan biruku adalah apa yang kutebak dan kueja dari detik ke detik. Dan darimana aku harus memulai menerangkan birumu padamu dan biruku padamu, sedangkan aku hanya mengeja takdir, menjala nyata yang mengubur asa yang bahkan kadang tak lagi biru.
Biru ini sama, pada satu titik dimana keduanya adalah nama, yang mengacu kuat pada aku. Aku yang kita bahas. Yang kadang kau bilang biru laut, dan kubilang biru langit. Kita hanya menerjemahkannya dengan terminologi yang berbeda pada satu bahasa. Sedangkan mungkin pada kenyataan yang tak terbaca, semuanya tidak pernah benar-benar biru, tidak pernah seperti apa yang kita perdebatkan. Kita hanya perlu memahami, bahwa suatu saat mungkin salah satu dari kita, atau malah memang kita berdua, tak pernah benar-benar tahu. Maka yang perlu kita lakukan adalah menerima, karena toh semuanya hanya kerelatifan yang manusiawi.
Terlepas dari segala macam biru, laut, warna, perjalanan, aku hanyalah aku yang terus berusaha, mengimbangkan kembali semua hal yang terkadang terasa berat sebelah di pundakku. Seperti persahabatan yang entah akan menggelinding kemana jika tidak kujaga, dan untuk itulah aku terjaga. Aku tidak ingin menutup mata selama aku masih memiliki waktu yang bisa kumiliki. Karena tidak akan pernah ada yang tahu bagaimana cerita sebenarnya mengalir dan teralirkan, sebelum kita sampai pada halaman terakhir. Aku berusaha menjaga apa yang bisa kujaga. Melihat apa yang bisa kulihat. Mencintai apa yang telah kumiliki dan tanpa sadar juga kaumiliki.
Semuanya terasa tepat pada takarannya. Aku membumbuhi pahit pada apa yang terlalu manis dan memaniskan apa yang kadang terasa terlalu pahit. Mematikan apa yang tidak pernah benar-benar terbangun, sekaligus membangunkan apa tidak pernah benar-benar tertidur. Bukan berarti aku berhenti bermimpi. Tapi mimpi hanya membuatku semakin sulit terjaga untuk menjaga apa yang aku punya. Aku tidak mau terbangun dari mimpi dan menyadari bahwa apa yang kupunya telah lenyap tanpa pernah memberiku kesempatan untuk benar-benar melihat dan benar-benar memilikinya. Kata orang mimpi adalah bunga tidur. Tapi aku telah terjaga. Dan bunga telah mengering. Seharusnya ini waktunya menyemai, tapi aku terlalu takut apa yang kutanam tidak akan pernah tumbuh. Maka, lebih baik aku menyimpan bijinya. Menjaganya selalu dalam hatiku yang jauh.
Semuanya terasa baik-baik saja. Baik-baik saja dalam sudut pandang dimana pikiran tentang kemungkinan baik diharamkan. Baik-baik saja dalam luasnya penafsiran yang selalu berbatas pada keseimbangan yang masih harus terus terjaga. Baik-baik saja dalam igauan yang tersusun dalam sajak-sajak kehidupan yang semakin lelah. Baik-baik saja selama semuanya memang kurencanakan dan tidak kuharapkan. Baik-baik saja sampai kau mengusiknya.
Selama ini aku terjaga, terus membuka mataku. Tapi aku lupa mengingatkan diriku sendiri untuk tidak selalu mempercayai apa yang kulihat. Bahwa mata kadang menipumu dengan bayang-bayang. Kau seperti menyadarkanku bahwa apa yang kujaga selama ini bukanlah benar-benar milikku. Bahwa aku hanya memiliki separuh perasaan yang tidak pernah merasa lengkap. Mungkin hanya aku yang begitu ingin memiliki sesuatu untuk kujaga, tanpa pernah tahu apa yang bisa disimpan dan apa yang akan terus mengalir. Dan apa yang kau lakukan hanya membuatku semakin menyadari bahwa semuanya tidak pernah baik-baik saja.
Dengan baris-barismu yang menguasaiku seperti dongeng yang membuai, kau membuka semua batasan yang kugaris sesuai dosis yang takkan membuatku overdosis, tidak juga sakaw. Menabrak ribuan kemungkinan yang membuatku mabuk sekaligus jengah. Membuka semua tafsiran yang tak pernah terbaca dalam sempitnya keterjagaanku. Aku menjadi muak dengan keterjagaan yang sepertinya memerangkapku terlalu lama. Tapi aku juga tidak akan dengan bahagia meninggalkannya dan terlelap, bermimpi, membiarkan segala sesuatunya berjalan sebagaimana mestinya tanpa kutahu seperti apa alurnya. Tidak kecuali aku sudah merasa benar-benar lengkap dan tidak akan merasa sendirian menyadari kehilangan.
Semua yang berharga diperlakukan dengan cara yang berbeda dan tidak pernah disamakan dengan apapun. Atau, semua akan menjadi berharga jika diperlakukan dengan cara yang berbeda dan tidak pernah disamakan dengan apapun?
Aku pikir semuanya saling terlepas. Tapi aku salah. Aku pikir sudah cukup bersembunyi dalam kabut keterjagaanku selama ini. Tapi bagaimana pun aku tetaplah biru, yang selalu hanya ingin menjadi background. Menjadi lambang bagi hari yang cerah, tanpa pernah membiarkan dirinya menghitam terbakar matahari. Menjadi latar bagi persahabatan yang terukir di pantai pasir putih, yang kebersamaannya abadi di selembar foto dalam album kenangan.
Aku tetaplah harus naïf, selalu mengeja takdir, tapi harus berani merajut asa yang akan terjala dalam nyata.
Tapi bagaimana jika aku tidak siap dengan gelombang kemungkinan yang tidak pernah kupersilakan memasuki gerbang biruku? Dan sebenarnya, manakah yang lebih berharga bagiku? Keterjagaanku yang dengan sengaja kujaga ataukah biru yang tanpa sengaja kusembunyikan? Mungkin jawabannya bukan dua-duanya, karena selama aku berada pada kedua titik itu, yang aku cari adalah kebahagiaan menjadi latar bagi kebahagiaan bagi orang-orang yang berharga bagiku. Karena saat mereka membicarakan hari yang cerah, biru langit akan menjadi deskripsinya. Meskipun akan ada matahari, mereka akan tahu juga dimana tempat menemukannya. Dalam eksistensiku yang teralihkan. Dan saat album kenangan terbentang, biru laut akan menjadi tempat yang mereka rindukan. Meskipun akan ada rasa kehilangan saat waktu dan jarak menunjukkan tabiatnya, mereka akan tahu siapa yang tidak akan pernah berubah setelahnya, dan dia adalah birunya laut. Eksistensiku yang teralihkan. Tapi mungkin kali ini aku juga masih salah lagi.
Apapun yang akan menjadi jawabannya, kau tetap bagian yang terpenting dari semua kericuhan ini. Bukan saja karena kau yang membuka jutaan kemungkinan yang memaksaku berlari meski aku tahu mungkin aku akan jatuh. Bukan saja kerana kau yang membuatku menanyakan kembali apa yang lebih berharga dari apa yang berharga. Karena semuanya masih samar-samar dalam batas keterjagaan dan tidurku. Bukan saja karena kau yang membangunkanku dari keterjagaan yang menidurkanku terlalu lama. Tapi karena akhirnya kau mau peduli.
Sejak awal aku tahu apa yang diam-diam kuharapkan, diam-diam kusisipkan dalam doaku, seseorang akan menemukanku dan menarikku keluar dari cerita yang kususun dengan pecahan ketidakpastian yang bisa kupastikan. Tapi aku tidak pernah benar-benar mempercayai harapanku. Setidaknya tidak sampai saat ini.
Tidak mengejutkan juga jika kau yang berhasil peduli. Tapi kenapa harus kau jika kericuhan ini mungkin akan membuatku kehilangan semua hal yang berharga dan menjadi sama sekali tidak berharga. Mestinya aku merayakan saat menipisnya kabut ini dengan kehilangan yang sudah kuprediksikan dan akan kuikhlaskan. Tapi aku malah merayakannya dengan ketidakrelaan yang menjadi-jadi, saat menyadari di ujung salah satu titik itu, ada kau yang sepertinya akan mau peduli.
Kau datang dengan terlalu bertubi-tubi. Itulah pukulan yang kau bilang takkan kau berikan padaku. Kau terlalu banyak mengambil peran dalam kericuhan ini. Yang membuatku tidak bisa begitu saja ambruk setelah pukulanmu yang lagi dan lagi dan kembali duduk dalam posisi keterjagaan dengan air yang merembes dari mataku. Kau juga membuatku tidak begitu saja menunjukkanmu jalan keluar dan membiarkanmu keluar dengan pakaian kusut dan ketenangan yang tak tertandingi. Sekali lagi karena kau mengambil terlalu banyak peran dalam kericuhan ini. Kau hanya berhasil membuatku memikirkan segalanya, membuatku tidak bisa memikirkan hal lain, dan pada akhirnya membuatku tidak bisa menentukan, peran mana yang benar-benar kau inginkan. Saat ini, eksistensimu pun mungkin teralihkan. Yang aku tahu hanyalah kau cukup peduli padaku, entah untuk siapa, kenapa, dan sebagai siapa.
Samar-samar aku mengingat satu hal. Pada suatu ketika saat langit biru memucat dalam tenggelamnya senja, kau pernah bilang kau ingin menjadi udara. Mungkin aku akan bersenyawa denganmu. Menemukan eksistensiku yang bertaut dalam wujudmu. Tapi toh kita bukan udara, yang bebas mengalir dan berikatan.
Aku hanya memiliki tangan ini untuk menggapai. Maka jangan menuli, karena aku tidak punya cukup teriakan untuk membuatmu yakin. Aku hanya memiliki tangan ini untuk menjabatmu dan mencairkan jarak yang terasa membelenggu. Dan setelah itu mungkin kita akan benar-benar saling mengenal. Inilah kesepakatan yang kutawarkan.

Kamis, 02 Juli 2009

sesuatu

sesuatu itu telah salah kau pahami..
tapi akan kubiarkan, biarkan berjalan seperti mauku, dan akan menjadi indah bagimu, pada waktunya nanti.

kau hanya harus tahu,,kau selalu ada.apakah jadi pemeran utama atau figuran, itu bukan poinnya. intinya adalah, kita sedang bersama-sama menjadi lakon dalam cerita ini. cerita milik kita.

tunggulah,,aku sedang berlari mendekat.sambut aku dengan peluk hangat, entah itu pelukanmu sebagai sahabat, ataupun pelukanmu sebagai lelaki yang aku cintai.

aku hanya ingin kau ada. sebagai siapapun...

Rabu, 01 Juli 2009

what's so wrong with me?

it seems that everything never be as right as what i wish...

ugh, i'm tired. tired of being this way.
i'm going to tell you soon, i promise.but you don't even give me the chance.
please give me one more chance, i'll try to make it right for us..

Senin, 29 Juni 2009

burung-burung

biarkan burung-burung itu mengatakan semuanya..karena mulut kita telah terkunci dari kejujuran yang berhasil kita sembunyikan. mulut kita terlalu sering mengkhianati perasaan yang terkatup rapat dalam rahasia kita yang dalam. maka hari ini biarkan burung-burung mulai bercerita..

sudah kumulai dengan pengakuan yang paling mendasar....I LOVE YOU. entah kapan kamu akan berhasil menemukannya. tapi bukan itu poinnya. aku hanya ingin berusaha mengatakan semuanya, dengan cara yang aku bisa.

memang tidak mudah menjadi seseorang yang aku cinta, karena aku akan terlalu banyak meminta tanpa pernah bisa dengan benar memberikan apa yang seharusnya kuberikan. bahkan akupun terlalu bodoh untuk bisa mengatakan I LOVE YOU. aku selalu ketakutan. takut dengan mengatakannya, aku akan kehilangan persahabatan kita yang pasang surut. 4 tahun kita bersahabat. dan selama itu juga aku berusaha bersembunyi. membuatmu bingung dengan adegan-adegan kontradiktif antara isyarat "aku pengen ketemu kamu" dan "kenapa kamu lagi yang harus kutemui hari ini".

huh, aku hanya terlalu takut. dan kamu sepertinya sudah terlalu muak memaksaku mengakui semuanya. mengacuhkanku. mungin kamu give up. mungkin juga karena aku terlalu terlambat.

tapi tunggulah sehari lagi...masih ada besok yang kan mempertemukan kita. aku telah mempercayakan hatiku pada burung-burung dalam toples. warna-warni. seperti perasaanku padamu. aku telah mempercayakannya pada burung-burung kecil yang akan menyatukan kita. maka tunggulan hinga besok..malam ini aku menyusun mereka dalam toples kecil, kemasan kopi kesukaanmu. tunggulah sampai besok, burung-burung kan berkicau membangunkanmu. memberimu isyarat fajar dari hari ke hari.....

tapi tunggulah sampai besok...